Minggu, 29 Januari 2017

Masih Ngimpi Mobil Nasional...??

Dear Bro and Sist,..
Kalo ngomongin soal mimpi Bangsa ini utnuk punya mobil nasional, mungkin sampe sepuh bongkok impoten gua nulis, bisa jadi bangsa kita cuma ngimpi doang.
Maaf bukan pesimis, dari gua masih bocah sampe udah jenggota begini, ngimpi gua buat ngeliat mobil dan motor nasional asli buatan bangsa belom kesampean juga..
Apalagi kalo lu pada baca tulisan yang gua kutip dari dapurpacu.com berikut ini:

BEIJING/JAKARTA (DP) — China dinilai gagal dalam usaha produksi mobil dalam negeri. Kerasnya persaingan teknologi dianggap sebagai faktor utama, di samping lemahnya kekuatan merek lokal negara ini.
Kasus itu setidaknya bisa menjadi acuan bagi Indonesia yang belakangan ini kembali terbuai oleh kemampuan memproduksi mobil nasional. Sudah sewajarnya, pengalaman pahit China ini bisa dijadikan pelajaran bagi Indonesia.
Membangun industri kendaraan nasional ternyata memiliki beragam aspek penting yang wajib diperhitungkan secara matang. Kuatnya daya beli pasar domesik dan kemampuan rancang bangun kendaraan rupanya bukan jaminan.
China telah merasakan hal tersebut. Negara yang memiliki daya beli pasar paling besar ini ternyata melemah dalam urusan penjualan mobil merek nasional. Negara yang juga andal dalam urusan produksi murah ini bahkan tak mampu menghadapi persaingan dengan manufaktur besar internasional.
Padahal sebagian mobil merek China tidak dibangun sendiri. Mereka telah berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan otomotif kelas dunia guna pengalihan teknologi.
Namun faktanya, dalam semester pertama tahun ini pasar mobil nasional China kembali merosot di negaranya sendiri. Bahkan dalam dua tahun terakhir market share mobil buatan dalam negeri China kalah dengan merek asing, seperti buatan General Motors dan Volkswagen Group.
Menurut asosiasi industri kendaraan China, setengah dari 171 pembuat mobil domestik China diprediksi akan gulung tikar dalam tiga tahun terakhir sebagai akibat agresifnya merek asing merambah kota-kota kecil.
Masalah Teknologi
“Kami telah berusaha mengakses kebutuhan pasar terhadap teknologi (baru), tapi kami hampir tidak bisa mendapatkan setiap teknologi kunci yang dipakai dalam 30 tahun terakhir,” kata wakil presiden Filan Industry Group, sebuah perusahaan pembuat sepeda motor dan mobil di Chongqing.
“Industri otomotif China masih dalam masa pertumbuhan. Bagaimana dua tahun mengalahkan perusahaan (otomotif) yang telah berusia lebih dari 30 tahun?” lanjutnya.
Sementara itu, Jeff Chung dari Daiwa Capital Markets Hong Kong Ltd, mengatakan perusahaan otomotif luar yang menjadi mitra perusahaan lokal China tidak sepenuhnya ingin memberikan transfer teknologi terbaru.
“Perusahaan (otomotif) asing hanya melihat besarnya potensi penjualan dan dan rata-rata kebutuhan tertinggi. Kebanyakan dari mereka tidak benar-benar peduli terhadap transfer teknologi yang dimiliki kepada mitra lokal,” ungkap Chung.
Jaringan Penjualan
Selain masalah teknologi, strategi dan perluasa pemasaran produk juga menjadi masalah bagi kebanyakan perusahaan otomotif China. Hal ini diungkapkan kepala pelaksana penjualan BAIC Liu Yu. Menurutnya, tawaran mendirikan jaringan pemasaran merek lokal sulit bersaing dengan manufaktur asing.
Para pengusaha dealer di China bahkan lebih tertarik bekerja sama dengan perushaan sekelas Daimler AG atau Hyundai Motor Co., sekalipun tidak diberikan subsidi.
Liu Yu mengatakan BAIC memberikan subsidi sebesar 1 juta dolar AS kepada pengusaha yang ingin mendirikan dealer. Nilai itu sebanding dengan tiga per empat biaya pembuatan dealer. Toh begitu, BAIC sulit memenuhi target membangun 150 jaringan penjualan di tahun ini.
“Produk mobil merek China menempati urutan paling akhir dalam rantai makanan. Banyak konsumen masih bias terhadap produk kendaraan dalam negeri,” ucap Liu Yu.
Persepsi Produk
Sementara itu, wakil presiden praktisi ritel global J.D Power Commercial Consulting (Shanghai) Charles Mills, menilai mobil-mobil buatan China masih mengalami kelemahan di persepsi konsumen.
Hampir seluruh konsumen membutuhkan durasi pergantian model yang cepat. Setidaknya, banyak manufaktur kendaraan internasional yang mengubah desain produk dalam kurun waktu pendek. Dua atau tiga model umumnya berganti kulit dalam rentan lima atau tujuh tahun.
“Walau kulit mobil sudah berganti menjadi lebih cantik, orang-orang masih memikirkan seberapa baik pengalaman yang diberikan,” ujar Mills.
Karena begitu pentingnya desain sebuah mobil bagi konsumen, maka tak mengherankan bila banyak manufaktur lokal China merekrut desainer-desainer ternama dari merek-merek terkemuka.
BAIC, misalnya, April silam telah mendudukkan mantan desainer Ferrari Daytona, Leonardo Fioravanti, sebagai kepala desainer. Brilliance China Automotive Holding Ltd., mitra BMW China, juga merekrut desainer Dimitri Vicedomini yang sebelumnya menangani rumah desain terkenal Pininfarina.
Selain itu, Great Wall Motor Co., perusahaan pembuat SUV terbesar di China, juga telah mempekerjakan mantan desainer Mercedes-Benz Andreas Duefel sebagai direktur desain sejak tahun lalu.
Bagaimana Indonesia
Di Indonesia sendiri isyu tentang mobil nasional kembali menyeruak tatkala mobil bermerek ESEMKA berhasil dibuat anak-anak sekolah kejuruan di Surakarta, Jawa Tengah.
Banyak pihak di Tanah Air yang tahu tentang seberapa jauh mobil tersebut bisa dikatakan murni buatan Indonesia, khsusunya para enjiner di bidang otomotif. Sayangnya, mereka tak mau bicara ketika disinggung tentang mobil nasional. Tak sedikit pula kalangan industri dan orang-orang di Kementerian Perindustrian yang menilai mobil nasional tak lebih dari sekadar bingkai politis.
“Nanti kalau saya ngomong, saya malah salah. Bisa-bisa saya dinilai tidak nasionalis, padahal masyarakat perlu diberikan aspek yang sangat rasionalis,” kata seorang enjiner yang engan disebut namanya.
Menurutnya, membangun sebuah mobil bisa dilakukan setiap orang. Namun ketika bicara industri, aspek yang ditimbang sangat kompleks. Terlebih bila ingin disebut sebagai mobil nasional (dibangun dengan teknologi dan sumber daya sepenuhnya dari dalam negeri).
Ditambahkannya, persaingan di dunia harus benar-benar dipahami ketika Indonesia ingin membangun mobil nasional. Malaysia dengan Proton bisa menjadi contoh. Kini merek itu tidak sepenuhnya milik pemerintah. Proton harus dijual karena tak mampu bersaing di tingkat dunia dan pasar nasional yang tak lagi berkembang.
Industri mobil nasional Korea yang dimulai sejak 1955 juga bisa ditelaah. Dari lima merek yang dimiliki Korena, kini hanya tersisa satu aliansi, Hyundai-Kia. Daewoo, Ssang Yong, dan Samsung sudah bukan lagi milik Korea. Masing-masing merek itu dijual ke manufaktur raksasa internasional.
Mengacu pada mobil ESEMKA, inikah produk yang akan disukai konsumen nasional? Dalam masalah teknologi ESEMKA bahkan tidak bisa bersaing dengan mobil-mobil termurah buatan manufaktur Jepang saat ini. Belum lagi modelnya yang terbilang lawas.
Ingat, saat ini konsumen Indonesia sangat kritis dalam menilai mobil yang baik dan sesuai trend. Masalah mobil nasional China yang diungkapkan di atas setidaknya melukiskan betapa negara sekuat China masih terancam ketika melawan manufaktur yang memiliki sejarah panjang di bisnis di otomotif.
Penulis: Wisnu Guntoro Adi, Pemimpin Redaksi Dapurpacu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar